Makalah Kebudayaan Kabupaten Kuningan

Kebudayaan Kuningan
1.      Perjanjian Linggarjati
a.    Sejarah singkat perjanjian
Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 namun Belanda tetap menekan Indonesia dan ingin menancapkan kekuasaannya kembali. Ketegangan antara Indonesia dan Belanda yang semakin hebat mendorong Inggris yang merasa bertanggungjawab atas masuknya Belanda ke Indonesia, mencari jalan keluar untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Duta istimewa Inggris di Asia Tenggara, Lord Killearn, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta tanggal 26 Agustus 1946 dan menyodorkan diri menjadi perantara dalam perundingan Indonesia-Belanda.

b.    Tempat dan Waktu perjanjian
Pejanjian Linggarjati dilaksanakan di Desa Linggarjati blok Wage, Dusun Tiga, Kampung Cipaku, Kecamatan Cilimus kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat pada tanggal 10 – 13 November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada tanggal 25 maret 1947.


c.    Tokoh terkait perjanjian linggarjati
1.    Delegasi dari Indonesia
1)      Sutan Sjahrir
2)      Mr. Soesanto Tirtoprodjo
3)      Dr.A.K. Gani
4)      Mr. Muhammad Roem

2.    Delegasi ari Belanda
1)      Prof.Ir. Schermerhorn
2)      Mr. Van Poll
3)      Dr. F. De Boer
4)      Dr. Van Mook

3.    Notulensi
1)      Dr.J. Leimana
2)      Dr. Soedarsono
3)      Mr. Amir Sjarifuddin
4)      Mr. Ali Budiardjo

d.   Isi perjanjian linggarjati
Isi Perundingan linggarjati adalah menghasilkan perjanjian linggarjati, yang isinya adalah :
                        I.          Belanda mengakui secara De Facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura.
                     II.          Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama membentuk negara Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
                  III.          Republik Indonesia serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia – Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua.
2.      Kebudayaan serentaun
Istilah serentaun berasal dari kata dalam bahasa Sunda seren, yang artinya serah, seserahan, atau menyerahkan. Sedangkan taun berarti tahun. Jadi serentaun bermakna  serah terima tahun yang yang lalu ketahun yang akan datang sebagai penggantinya. Dalam konteks kehidupan tradisi masyarakat sunda, serentaun merupakan wahana untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hasil pertanian yang dilaksanakan pada tahun ini, seraya berharap hasil pertanian mereka akan meningkat pada tahun yang akan datang.
Upacara serentaun merupakan acara penyerahan hasil bumi berupa padi yang dihasilkan dalam kurun waktu satu tahun untuk disimpan kedalam Lumbung atau dalam bahasa Sunda disebut leuit. Ada dua leuit yaitu, (1) leuit indung digunakan sebagai tempatb menyimpan padi ibu yang ditutupi kain putih dan pare bapak yang ditutupi kain hitam. (2) leuit pangiring digunakan sebagai tempat menyimpan padi yang tidak tertampung di leuit indung. Padi dikedua leuit itu untuk dijadikan bibit atu benih pada musim tanam yang akan datang.
Tradisi ini dapat dijumpai dibeberapa masyarakat adatdi Jawa Barat-banten seperti di; masyarakat Kanekes, Sumedang Larang (Ranca Kalong), kampong NAGA Tasik, Cipta Gelar Sukabumi, dll. Upacara yang diselenggarakan di Cigugur Kuningan  Jawa Barat menjadi menarik dan unik karena pelaksanaan serentaun di Cigugur dapat melibatkan semua unsure yang ada di masyarakat tanpa membedakan suku, agama, jenis kelamin, dan usia.
3.      Sejarah serentaun
Menurut catatan sejarah dan catatan local, perayaan serentaun sudah turun temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda  purba seperti kerajaan pajajaran. Upacara ini berawal dari pemuliaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Sri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda kuno.
32 tahun setelah kerajaan Pajajaran hancur, Serentaun sempat juga diadakan diberbagai daerah semisal di Kuta Batu, Cibeureum, Cipakancilan, dan sindangbarang sebagai pusatnya. Hal ini terus berlanjut sampai masuknya islam di Sindangbarang dan sempat dihentikan selama kurang lebih 5 tahun. Terjadi kegagalan panen berturut-turut hingga serentaun kembali diadakan dengan format berbeda menjadi sedekah bumi. Hal ini berlanjut sampai tahun 1970. Pada tahun 1971 serentaun sempat ditinggalkan penduduknya seiring menghilangnya satu persatu rumah panggung adat sunda. Hingga ditahun 2006, sejumlah tokoh adat masih hidup dan budayawan Jawa Barat Anis Djatisunda berusaha merevitalisasikan serentaun di Sindangbarang sampai hari ini.
Proses Upacara Serentaun
Sepekan sebelum prosesi upacara adat Serentaun berlangsung diawali dengan pesta dadung yang belokasi di Situ Hyang pada Pagi hari setelah fajar tiba. Inti dari pesta dadung adalah membuang hama. Penggunaan dadung atau tambang besar yang terbuat dari ijuk, mengekspresikan rasa terima kasih masyarakat kepada anak gembala.
Nyanyian yang berisi permohonan berkah, agar petani, gembala, ternak dan sawah diselamatkan dari mara bahaya, menjadi pembuka acara ini. Setelah itu, barulah hama sawah dibuang ke lubang di Situ Hyang. Pesta dadung diakhiri dengan tarian oleh beberapa orang petani. Menanam bibit pohon juga menjadi bagian dari pesta dadung. Satu bentuk keramahan dan kecintaan penduduk pada alam, yang sehari-hari menopang hidup mereka.
Tidak hanya berhenti dipesta dadung, keesokan harinya pusat kegiatan berpindah ke Balong Girang (kolam alami dihulu air) Cigugur. Selepas tengah hari, penduduk pedesaan berkumpul dihibur Nyiblung, music yang dihasilkan dari tepukan-tepukan tangan di air kolam.
Hari-hari berikutnya selama sepekan sebelum prosesi puncak upacara adat serentaun, biasanya diadakan atraksi atau pagelaran kesenian tradisional dari beragam daerah di Jawa Barat. Pada siang atau sore hari selama sepekan itu juga suka diadakan pameran berbagai hasil kerajinan masyarakat daerah berupa batik, anyaman, ukiran, serta sajian makanan tradisional khas Cigugur seperti peuyeum ketan, gemblong, dan sebagainya.
Malam sebelum pelaksanaan upacara Serentaun, biasanya jugadiadakan upacara ritual  adat ngareremokeun dari masyarakat Kanekes, ritual lagu-lagu dari masyarakat dayak Losarang Indramayu dan diakhiri dengan tari Badaya Nyi Pwah Aci Sang Hyang Sri oleh penari wanita.
Pagi hari tanggal 22 Rayagung tahun Saka Sunda, seiring dengan terbitnya sang fajar dimulailah prosesi puncak tradisi upacara adat serentaun biasanya dibuka sejak pukul 08.00. upacara dimulai dengan gempitanya alunan music goong renteng sebagai pertanda bahwa prosesi upacara adat akan segera dimulai. Selanjutnya atraksi pagelaran angklung baduy yang dimainkan oleh sekitar sepuluh orang suku baduy. Kemudian diteruskan dengan persembahan tari buyung sebagai tarian kreasi tradisional khas Cigugur yang ditarikan oleh belasan gadis-gadis Cigugur. Kemudian acara dilanjutkan dengan pergelaran angklung buncis yang dipagelarkan oleh ratusan pemuda dari cigugur. Setelah pergelaran music angklung buncis berakhir, kemudian prosesi upacara berupa ngajayak. Selanjutnya hasil bumi yang dibawa lelugu dan sebelas pasang muda-mudi itu secara bergiliran dipersembahkan dan diterimakan kepada tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh berbagai agama dan kepercayaan, dan tokoh aparat pemerintah.
Klimaks dari puncak upacara Serentaun adalah sambutan-sambutan tokoh adat cigugur., tokoh aparat pemerintahan dan perwakilan dari lembaga nasional. Selanjutnya, dilaksanakan kegiatan akhir dari ngajayak, yatu penyerahan padi hasil panen dari para tokoh kepada masyarakat untuk kemudian ditumbuk bersama-sama, di Kompleks Taman Sari Paseban. Puluhan orang lainnya berebut gabah dari kedai bertajuk Pwah Aci Sanghyang.
Sebagai tambahan penjelasan bahwa biasanya padi yang ditumbuk oleh masyarakat secara masal dalam puncak akhir proses upacara adat serentaun itu sekitar 20 kwintal padi, sedangkan 2 kwintal padi lainnya disimpan dilumbung padi dan dibagikan ke para warga yang hadir dan petanidalam bentuk wayang-wayangan padi. Keseluruhan acara berlangsung dari pagi sampai sore hari
4.      Agama Djawa Sunda di Cigugur
Cigugur adalah sebuah desa di lerang Gunung Ciremai yang sekarang sudah menjadi sebuah kelurahan atau bahkan kecamatan. Secara administratif, Cigugur terletak di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat yang berjarak sekitar 35 km ke arah selatan kota Cirebon, atau sekitar 168 km dari kota Bandung. Cigugur berada pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata 26,80 mm dan suhu udara rata-rata sekitar 26°C. Duapuluh tahun yang lalu, ketika penelitian dilakukan, luas wilayahnya adalah 511.120 ha, yang terdiri dari 105.680 ha digunakan sebagai tempat pemukiman penduduk, seluas 116.120 ha sawah, seluas 279.975 ha merupakan tegalan, kolam dan empang seluas 2.860 ha, lapangan seluas 1.180 ha, dan sisanya digunakan sebagai kuburan, jalan raya, pengairan, dan lain-lain. Data ini pasti sudah jauh berubah, tidak hanya dalam komposisi peruntukan lahannya, tetapi juga struktur kepemilikannya.

Pada tahun 1848 di tempat ini berdiri sebuah aliran kepercayaan yang dikenal dengan nama Agama Djawa Sunda disingkat ADS atau dikenal pula sebagai Madraisme mengambil nama pendirinya, Pangeran Madrais Alibasa Widjaja Ningrat, yang dipercaya sebagai keturunan Sultan Gebang Pangeran Alibasa I. Sedangkan menurut cucunya yang masih hidup, Pangeran Djatikusumah, nama Madrais berasal dari Muhammad Rais, sebuah nama yang identik dengan kultur Islam. Pada usia muda Pangeran Madrais mendapat pendidikan pesantren, ini merupakan pengaruh kakek dari pihak ibu yang pengasuhnya. Namun dari beberapa catatan yang diketahui, ia menunda pelajarannya dan pergi mengembara ke berbagai “paguron” yang ada di Jawa Barat. Kisah pengembaraan pendiri ADS tersebut dapat tergambar dalam tulisan berikut:

“…Dina burej keneh nalika juswa antawis 10 ka 13 taun, mantenna masantren. Nanging kapaksa nunda teu diladjengkeun kumargi nampi “wisikan gaib (ilham) nu maparin pituduh mantenna kedah ngalalana sareng tatapa mulat salira. Teu talangke deui ladjeng wae andjeuna angkat ngalalana mipir-mipir pasisian, mapaj-mapaj padukuhan, kasuklakna-kasiklukna, lembur-lembur diasruk, desa-desa disakrak, kota-kota pakemitan alit diungsi. Babakuna nu djadi djugdjugan tempat-tempat nu kakotjap sanget, angker, sungil djadi pamundjungan, pamudjaan djalma rea. Mantenna didinja tatapa ngisat salira. Teu kantun paguron2 taja kalangkung, nungtik lari nyiar bukti ngudag kanjataan nu jadi rasiah alam lahir bathin..”

“… Ketika masih kecil, yaitu pada usia antara 10 sampai 13 tahun, ia tinggal di pesantren. Namun terpaksa ditunda karena menerima “bisikan gaib” (ilham) yang memberi petunjuk agar ia pergi, menelusuri dusun-dusun, baik besar maupun kecil. Yang biasanya dituju adalah tempat-tempat yang dikenal umum sebagai tempat angker yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Di tempat-tempat itulah ia bertapa. Tempat bergurupun tak ada yang terlewat, dengan maksud mencari bukti, mengejar kenyataan yang menjadi rahasia semseta alam, baik lahir maupun batin...”

Kehidupan sosial penganut agama djawa sunda
Dalam kehidupan sehari – hari ereka menamakan diri sebagai masyarakat adat, mengandalkan sektor pertanian sebagai peunjang kehidupan.
Dalam bidang pengetahuan penganut agama djawa sunda mengembangkan penggunaan tulisab jawa wanda cigugur.

Jejak – jejak peninggalan Kebudayaan ADS Balai Paseban Tri Panca Tunggal


Lebih lengkap download saja makalahnya Kebudayaan Kuningan.docx
Power Point : Kebudayaan Kuningan.pptx





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Bioteknologi Tape Ketan

Asumsi dan Dimensi Perkembangan Peserta Didik